Secuil Cerita Dibalik Opening Ceremony


Acara Opening Ceremony berlangsung dengan megah. Rasa pesimis yang dirasakan apakah PON ke XVIII Riau akan jadi terlaksana  , terobati. Walaupun diberbagai media penuh dengan komentar akan kekurang siapan Riau menjadi tuan rumah. Sorotan pada buruknya fasilitas, Venue yang belum rampung dan acara pembukaan baru dimulai setelah hari ke 3 sejak dimulainya pertandingan. Ini memang nyata dan kami sebagai masyarakt melihat sendiri, terutama yang bertempat tinggal di sekitar stadion Kaharudin Nasution Rumbai. Kami risau dengan jembatan Leighton yang compang camping, jalan Yos Sudarso sebagai jalan utama menuju stadion yang bagai gelombang Bono. Lampu-lampu indah ditancapkan tergesa-gesa, dan pohon-pohon yang “mendadak” tumbuh.  Tiap pagi sebelum berangkat kerja masyarakat menyaksikan “kerjarodi” para tukang menyelesaikan  finishing gedung-gedung olahraga. Kami sangat berharap demi tuah negri ini PON tetap berlangsung di Riau. Apapun kondisinya kita maklumi bersama.
Sebagai pengisi salah satu acara pembukaan, latihan selama 2 bulan, telah ditunaikan dalam performa 6 menit. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Jam belajar siswa dipindahkan ke hari lain, kesediaan guru mengganti  pelajaran yang tertinggal, pekerjaan dikantor yang terbengkalai,bahkan  rela menggunakan uang pribadi untuk membayar honor pelatih, Begitu juga dengan para pengusaha catering dan penjahit kostum rela dihutangi. Lelah latihan berbulan-bulan, merasa kurang dihargai, bertengkar dengan EO, dan semua keruwetan menjelang hari "H" Semuanya demi suksesnya acara opening ceremony.  
Sejak siang para pengisi acara sudah bersiap untuk tampil. Gladi resik berulang-ulang,makan, istirahat,  tetapi fasilitas MCK tidak memadai. Tim kami sampai membawa air sendiri untuk wudhu, entah bagaimana dengan tim yang lain. Apakah mereka juga mempersiapkannya, atau melewatkan begitu saja jam-jam shalat?. Keterlaluan kalau ini disebut juga demi PON.
Tetapi ada hal yang membuat semua pengorbanan hampir sia-sia, yaitu masalah penonton. Apalah artinya pertunjukan kalau tanpa penonton? Katanya semua tiket laku terjual, sehingga para orang tua /keluarga yang ingin menyaksikan anaknya atau keluarganya tampil tidak bisa mendapatkan tiket masuk yang harganya mulai dari Rp 100 000 hingga jutaan. Beberapa keluarga sampai memohon-mohon ke penjaga agar diizinkan masuk. Dimana mendapatkan tiket mereka tidak tahu. Keluarga yang lain langsung mengurungkan niat begitu tau bahwa untuk menonton anaknya mereka harus merogoh saku sedemikian dalam. Mereka tidak ingin jumpa pak SBY tidak ingin jumpa Rosa,Ungu, Judika atau artis manapun. Mereka hanya ingin melihat anaknya menari tidak yang lainnya.
Dengan informasi tiket habis dapat dibayangkan betapa antusiasnya masyarakat Riau ingin menyaksikan pagelaran budaya, Marching band, Silat, kontingen atlit pada pembukaan ini. Tapi hingga jam menunjukkan pukul 19, deretan kursi –kursi di tribun masih kosong. Hanya kursi VIP yang diisi oleh para pejabat menanti kedatangan Presiden RI. Namun setelah Pak SBY duduk dan acara sudah 2/3 jalan, masyarakat baru diizinkan masuk secara GRATIS...Helatan rakyat yang ditunggu-tunggu dan di dukung bersama-sama nyaris menjadi konsumsi komersialitas. Hingga sore kemarin masyarakat  Riau telah dihimbau untuk menonton pertandingan di setiap venue secara gratis.

Ada seorang penasihat yang mengingatkan para komite supaya kita tetap percaya dengan keajaiban. Yang penting kita menunjukkan performance yang terbaik tidak peduli apakah kita berlatar belakang A,B,C . Kita tidak perlu memaksa orang lain mahfum bahwa kita adalah orang hebat. Beliau mencontohkan sumbangan sebuah gedung olahraga dari perusahaan multinasional. Tidak perlu publikasi,tapi orang-orang tahu di sport center itu mana gedung yang paling bagus, mewah dan sangat nyaman dengan biaya pembangunan jauh lebih murah dari gedung2 yang lain.

Terganggu Gadget Saat Ingin Berdua : "Dikacangin"


 
(Sebenarnya mau digunakan untuk Lomba Femina bekerja sama dengan Sari Wangi,...tapi kok sebelum deadline di Feminanya sudah tidak ada lagi.....)
Liburan adalah saat yang paling dinanti oleh keluarga kami. Tidak terlalu muluk sebenarnya cukup dengan berkunjung ke kota kelahiran saya di Bukittinggi Sumatera Barat. Tak akan pernah bosan bila mengunjungi kakek dan neneknya anak-anak.
 Rencananya dari Bukittingi saya dan suami ingin berkunjung ke Padang hanya berdua saja. Rencana telah disusun, kalau kami akan napak tilas kenangan masa kuliah dan saat pertama kali bertemu. Lamunanku melayang-layang ke masa 20 tahun silam.  Waktu apel pertama gagal karena saya terus bersembunyi di dapur ketika calon pacar yang sekarang sudah menjadi ayahnya anak2 apel ke rumah kos. Berkat gigih dan tidak mau tahunya dia akhirnya saya menyerah juga. Nah dari itulah kami ingin berkunjung lagi kerumah ibu kos kami masing-masing yang punya andil atas hubungan kami.
Perjalanan dimulai sejak jam 6 pagi dengan jarak tempuh 130 km. Sepanjang perjalanan, anak anak riang sambilsesekali bernyanyi menirukan lagu favorit mereka. Setelah 2 jam perjalanan , kami istirahat sejenak. Bekal piknik diturunkan yang langsung digasak anak-anak. Sembari mengunyah kue dan permen,  anak-anak menggoda papinya yang serius dengan gadget barunya. Awalnya kami menganggap papi sibuk mempelajari perangkat barunya itu. Hingga ketika kami minta untuk meneruskan perjalanan,  suami kelihatan terkejut bahwa kami sudah istirahat selama setengah jam. Saking asyiknya kopi sendiri belum sempat diminum.

Rute yang penuh tikungan dan tanjakan sejauh 17 km selesai kami lewati. Karena jalanan berkelok-kelok anak bungsu kami, Faiz merasa mual, kami harus berhenti lagi. Kami menunggu Faiz hingga pulih lagi dari rasa mualnya. Aku duduk dan mengajak suami ngobrol, sepertinya tidak ditanggapi. Bahkan keadaan anak kami pun tidak begitu menjadi perhatiannya dan kembali tekun dengan utak-atik mainan barunya. Saya mulai kesal karena diabaikan.
Lalu kami melanjutkan perjalanan. Anak-anak mulai tertidur. Aku yang masih jengkel  enggan memulai percakapan.Udara sejuk mulai terasa. Di kiri dan kanan sawah menghijau. Bukit barisan yang berlapis-lapis selesai pula kami lewati. Kota ku yang sejuk menyambut kami dengan senyum sehangat mentari siang.
Esok harinya kami hanya berdua mengunjungi kota penuh bunga-bunga cinta kami. Kampus adalah tempat pertama yang kami kunjungi. Aku asyik mengocehkan tentang basket dan teman-teman klub yang dari jurusan Sipil, Sastra  Hukum dan Ekonomi. Ternyata suami sibuk dengan gadgetrnya, memotret, mengisi status dan chatting… Garing! Ternyata aku dikacangi dan ngobrol sendirian. Hal yang sama terjadi sewaktu makan di Rumah makan favorit kami yang murrrah meriah  dengan masakan khas gulai ikan. Bukannya menikmati gulai kepala ikan yang paling disukainya, ehh malah sibuk memotret kepala ikan tersebut dari berbagai sisi. Mengaplod ke jejaring social dan disambut komen meriah dari teman-temannya. Urrghhhh aku diabaikan lagi.

Puncaknya ketika kami duduk dibebatuan dipnggir pantai, selama satu jam aku mematung memandangi laut dan kapal dikejauhan. Sementara suami sibuk mengutak atik gadget dikeremangan malam. Sudah 4 penjual kacang dan 3 pengamen yang kumarahi  karena mengusik kedongkolanku. Angan-anganku sejak masih di Pekanbaru untuk bernostalgia mengenang saat romantic  buyar berantakan disapu angin laut, gara-gara suami kepincut gadget.