Foto: EJK
“Selamat
pagi asap” sapa ku pagi ini ketika membuka pintu belakang sebelum berwudhu.
Asap
hanya tersenyum pucat. Sepertinya dia sungkan untuk menyahut. Tidak seperti
hari-hari lainnya kali ini aku tidak berani mengembangkan paru-paru untuk
menghirup udara pagi.
“Maaf
aku tidak bisa mempersilakan mu masuk seperti aku mempersilakan angin dan
cahaya matahari untuk bermain didalam
rumah kami”.
Lagi-lagi
pagi kelabu. Pendar-pendar cahaya matahari memulai sinarnya. Kuning kemerahan
tampak dikejauhan. Matahari pun tidak terlihat ceria.
Aku
berusaha menghangatkan suasana rumah supaya keluarga ku tetap bersemangat dan
gembira. Agak susah memang. Sepiring nasi goreng telur dan timun hijau. Kami
larut dalam doa, bersyukur masih ada makanan dan dapat memetik sayuran segar. Pagi
berlalu dengan kesunyian.
Menjelang
siang angin terasa berhembus.
“Hai
angin,…apa kabar mu hari ini,…akan kah kau tiupkan asap ini kenegri lain?”
Angin
berseru marah
“
Jangan kau atur kami hendak kemana”
“Salahkan
pertanyaan ku angin? Kami bangsa yang ramah, setiap tamu kami perlakukan dengan
baik, tetapi tamu kami ini sudah terlalu lama, bawalah angin,…terbangkan sejauh
mungkin”
Angin
berseru seru lagi dengan marah, berputar
lalu pergi meninggalkan senyap.
Ku
tatap langit, warnanya masih putih keabuan. Dimana kau awan kami merindukan mu.
Awan
mengintip dikejauhan berwarna kelabu. Sedetik asa ku bangkit
“
Awan berkumpullah,…tidakkah kau ingin bermain dengan matahari hari ini,…ayo
ajaklah teman-teman mu”
Awan
melengos lalu pergi.
Aku
masih termangu menatap langit, mengharapkan awan, mengharapkan angin,
mengharapkan sinar yang hangat, mengharapkan tawa anak-anak. Bukan tawa dibalik
topeng. Bukan rengekan mereka yang tidak bisa bermain di halaman, bukan wajah
lesu pedagang tapai dipinggir jalan.
Ku
banyangkan mungkin seperti ini negri-negri yang akan dihampiri salju lembut. Dan dingin,…tapi masih menebar
keceriaan. Tapi langit ku berwajah pilu. Biasanya langit ku biru cantik. Kadang
biru mu ditemani awan putih. Kalau anak-anak kami bermain layangan warna warni:
merah, hijau, ungu dan jingga….angin datang menemani. Mengantarkan layangan
membelai langit biru. Oh rindu ku kian membuncah. Akan ku kirimkan berita pada
mu langit biru. Disini anak-anak kami tidak boleh bermain diluar rumah. Jerebu
menghadang, partikelnya menembus keparu-paru mereka.
Matahari
berwarna merah telah hilang ditutup asap..meninggalkan warna kuning kecokelatan
disekitar kami. Rumput menguning, pohon menguning, bunga-bunga menunduk sedih.
Diwilayah lain ranting-ranting pohon menghitam, tanah dan gambut berwarna hitam….Kesuraman
kian menjadi. Ternak menjadi gelisah, satwa liar terkepung asap dan mati
perlahan. Ditempat berwarna hitam, penduduknya sudah pindah dan ada yang mati.
Tidak ada yang tahu. Bahkan angin pun tidak tahu karena mereka enggan
menghampiri.
Oh
Hujan,…ya aku teringat pada mu. Minggu lalu kau datang membawa berkah. Tapi
hanya berkunjung sebentar di rumahku yang berwarna kuning. Tidak ke rumah lain
yang berwarna hitam. Disana lebih membutuhkan dirimu.
Aku
kabari dirimu melalui sebaskom air larutan garam disetiap rumah. Pada jam-jam
11 siang. Biarlah orang menertawai kami, karena mengabarimu hanya lewat
sebaskom air. Bukan Water Bombing
yang dijanjikan.
Kubisikkan
lamat-lamat agar engkau tidak terkejut
“
Hallo hujan, turunlah. Biarkanlah menurut ramalan cuaca, bahwa Elnino sedang
terjadi, engkau jangan tersinggung. tetapi kau tetap harus menunaikan tugas mu.
Membasahi bumi kami.”
Lama
kusimak suara – suara halus. Ternyata bukan suara hujan tapi desis api yang
terus membakar ranting dan gambut. Asap
makin bubung meninggi terus meninggi. Lalu perlahan-lahan turun dengan seringai
lebarnya. Berputar mengitari sawah, ladang, sungai, sekolah dan ya semuanya,
tanpa kecuali. Dia adalah tamu tapi sungguh tidak sopan.
“Ku
tunggu jawaban mu hujan” aku hampir putus asa.
Hujan
akhirnya menjawab “ tanyakan pada sungai dan rawa”
“
Baiklah” Akupun bergegas mencari sungai dan rawa. Aku terkejut kemarin disini
ada sungai mengalir,memang tidak bening, warnanya keruh penuh sampah. Disebelah
sana ada rawa, tapi sekarang yang tersisa hanya pohon sawit tua yang tak terurus.
Disampingnya pohon-pohon rambutan telah layu tak mampu berbunga. Begitu juga
dengan bunga-bunga semak kantung semar.
Lepas
siang, teman-teman ku banyak yang mengeluh sakit kepala dan pusing. Sakit
tenggorokan sudah biasa.. Akupun demikian. Sepertinya daya tahan tubuh melemah
jika siang menjelang. Otak tidak mampu berfikir cepat. Tumpul. Semua melambat. Emosipun
terganggu, kami menjadi sensitif. Salah kata jadi petaka. Minumlah air putih
yang banyak. Kadang-kadang ditetesi jeruk nipis supaya kaporitnya tidak terasa.
Sulit sekali mendapati senyum dibibir teman – teman ku. Aku juga demikian.
Ku
tatap langit dan bertanya ..
“
Wahai langit biru, sudah terlalu lama kami menanti mu. Warna mu menebar
kebahagiaan dihati kami. Datanglah, perlihatkan wajah mu agar kami dapat
memandang mu dengan penuh suka cita”
Langit
berbisik dikejauhan.
“
Beritakan pada bangsa mu, jauhkanlah ketakaburan dan kemaksiatan dari negri
kalian”
“Langit
biru,….aku tidak paham,….tolong jelaskan pada kami…..langit biru kemarilah”
Senyap…….
“Selamat
sore asap. Aku sudah lelah. Bau mu sungguh tidak sedap. Pergilah”
Asap
tidak bergeming, hanya menatapku tanpa ekspresi. Aku menutup sela pintu dan
jendela dengan kain lembab. Tidak, kau tidak kuizinkan masuk.
Seorang
teman ku di negeri lain menyuruhku menyiapkan penyejuk dan penyaring udara.
Karena katanya inilah solusi satu-satunya. Aku mengangguk tapi dia tidak
melihat anggukan ku. Aku mengangguk bukan karena setuju, tapi memaklumi
perkataannya karena dia tidak melihat dan merasakan. Dia khawatir kami akan
mati lemas karena pengap sebab semua ventilasi rumah tropis kami harus ditutup
lakban dan kain basah. Sayangnya tidak cukup penderitaan kami walau dengan
penyejuk dan pembersih udara sekalipun.
Bahwasanya listrik akan padam secara bergiliran
selama 2 jam setiap hari. Tidak tentu jamnya bisa pagi, sore, malam dan tengah
malam. Kami dikelilingi asap, kulit kami memerah akhirnya gatal-gatal. Dada
kami sakit lalu terbatuk-batuk. Kepala kami berdenyut-denyut lalu pandangan
gelap. Tengkuk dan telinga linu. Tapi hati
kami lebih perih lagi. Nasip kami hampir sama dengan ikan selais dan
cakalang asap atau salai pisang,…atau jangan-jangan kami ini termasuk jenis
makanan terbaru ‘ smoke beef sandwich’
bagi para bedebah.
Harapan
akan udara bersih, mentari dan langit biru selalu ada disetiap insan yang
beriman. Jika hutan kami yang hijau dikembalikan. Akan kah itu?
“Selamat
malam asap, kau tidak lelah menggedor jendela kami?” Aku bertanya dibalik
dinding.
Asap
meronta-ronta diluar sana . Mungkin dia kedinginan.
“Pergilah,…
ku mohon……pergilah”
Malam
berlalu semakin sunyi. Tahajud dalam keheningan yang khusuk.
Doa
yang sama “Allah, ampunkanlah dosa kami, dosa ibu bapa kami, beri petunjuk dan
hidayah para pemimpin kami,…jika kami termasuk pemimpin bagi diri sendiri,keluarga
daun kaum kami, jadikanlah kami pemimpin yang amanah”