Labbaik Allahumma
Labbaik .....
Tiap tahun kita mendengar seruan itu. Perasaan selalu haru
biru ketika ikut melafazkan panggilan tersebut... Ya kami datang ya Allah..kami
datang
Tapi kapankah kami datang atas
undangan Mu ya Allah ya Rahim.
Rasanya kalu dihitung-hitung secara matematika, penghasilan
ku dan suami tidak akan pernah cukup untuk menunaikan rukun islam yang ke lima
ini. Karena setiap ada kelebihan sedikit kami belikan properti, entah tanah
atau alasan anak masih sekolah dan perlu tabungan untuk sekolah mereka. Paling
mencoba untuk menabung dengan membeli emas. Setelah dihitung-hitung pun belum
akan cukup untuk berhaji atau umrah berdua.
Ketika diberi oleh Allah kelebihan rezki, masih saja
yang dibeli hal-hal penunjang kesenangan dunia. Kalau tadinya cukup 1 penginnya nambah, Udah 2 pengen yang statusnya naik, gengsinya double dan sebagainya
Suatu hari aku dipanggil
kepala sdm yang akan pensiun. Bapak itu berpamitan dan memanggil ku
secara khusus untuk menasihati bahwa sudah saatnya aku dan suami melaksanakan
haji/umrah. Karena menurut beliau sebenarnya kami sudah mampu untuk mendaftar.
Ketika saya membantah kalau anak-anak masih sekolah dan butuh biaya kuliah,
beliau marah. Saya juga berdalih harus punya simpanan ketika anak harus menikah
dst. Lalu beliau menyarankan saya untuk rutin shalat dhuha dan tahajut agar
diberi rezki dan kemudahan oleh Allah Subhanahuwa taála . Inshaa Allah akan
dimudahkan
Semua saran beliau sebenarnya sudah aku laksanakan. Mungkin
saat itu Allah memang belum berkenan mengundang kami. Sudah beberapa jalan
tebuka didepan mata, selalu ada penghalang. Alasan yang paling klise saat itu
kami masih punya hutang!! Karena dari berbagai literatur mengatakan untuk berangkat haji/umrah kita
harus bebas hutang,
Memang pintu rezki itu datang dari mana saja. Tapi ketika
aku sudah mantap ingin mendaftar, suami masih punya alasan-alasan. Diantaranya
yang merasa masih banyak dosa lah, anak-anak masih sekolah, atau pertanyaannya “apakah
kita sudah mampu?. Menyamakan visi ini yang paling sulit. Debat panjang masih
saja berlangsung sampai pada suatu ketika, saat kami membesuk ayah teman lama
kami sakit, disitu mungkin Allah menitipkan undangan. Teman kami bercerita
mengenai umrah mereka sekeluarga. Suka duka, dan apa saja yang dipersiapkan
sebelum berangkat. Sekaligus disetiap cerita nya terselip ajakan “ayo dong
berangkat umrah saja dulu”. Termasuk ayah teman yang sedang sakit itu yang
umurnya sudah 89 tahun, sambil tersengal-sengal menyuruh kami segera ber umrah.
Pulang dari rumah sakit, sepanjang perjalanan kami diskusi
dan lebih tepatnya berdebat. Aku sedikit memaksa. Ya,, akhirnya suami mulai
luluh. Maka mulailah aku berburu tavel biro. Mulai umrah paket sederhana sampai
haji plus. Beberapa brosur sudah aku dapatkan. Sudah mulus jalan mendaftar?
BELUM. Kami berdebat lagi masalah waktu
yang sama –sama cocok dengan pekerjaan masing-masing. Keadaan stug...tidak ada
kemajuan. Walau secara ibadah kami sudah mulai berlomba meningkatkannya tapi
buku panduan umrah tidak disentuh oleh suamiku. Lalu tiba-tiba si teman
menelpon akan main ke rumah karena dia akan berpamitan kembali ke Lombok.
Padahal biasanya kalau balik cuma lewat telepon. Seperti ini:
“Mul aden baliak lai...maaf lahir batin yo...salam ka si wid
jo anak-anak”...........cusss berngkat
Kali ini sebelum berangkat, dia akan ke rumah... aku yakin
kedatangannya ke rumah kami membawa pesan alias undangan ke 2. Aku segera pulang karena saat itu masih di kantor.
Sayangnya sampai di rumah, si teman sudah pulang. Aku tidak menanyakan apa yang
mereka bincangkan dan langsung saja bertanya “kapan kita membayar uang muka
umrah “. Suami menjawab dengan muka berseri-seri “Besok sore”...
tralalala,,,besok sore masih 30 jam lagi, aku tidak sabar.
(bersambung)
siapa coba yang tak ingin ke baitullah
BalasHapussemua orang pasti menginginkan nya
tapi tak gampang untuk sampai kesana .
---
Supplier Tas Terbesar
Tadinya saya merasa sesuatu yang sulit, tapi ketika niat ada kesempatan dan rezeki terbentang dari pintu yang tak terduga...In Sha Allah
Hapus