Desember, ....
Libur akhir tahun dan
"menancapkan" resolusi. Selalu begitu ..tapi ada momen special buat
para ibu, hari ini ketika aku melihat sebuah iklan tentang hari ibu,
maka tulisan ini pun meluncur. Bukannya tidak peka terhadap ibu, tapi rasanya
tanpa peringatan hari ibu, rasa sayang dan hormat kita selalu terpatri dalam
hati, ditunjukkan dengan perbuatan..setiap hari mengenang ibu selalu istimewa.
Bersyukur ibu ku masih ada. Sehingga melihat senyumnya (apalagi karena aku)
terasa menyejukkan.
Tak perlu ku tuliskan seberapa
sayang ku pada ibu atau seberapa besar kasih ibu pada ku. Tapi selalu kurasakan
disetiap denyut jantungku dan disetiap tarikan nafasku. Jadi aku akan bercerita
tentang hal lain saja masih menyangkut ibu sebagai inspirasi.
Kala itu ibuku baru berumur 16
tahun selepas Sekolah menengah ditambah kursus mengajar 1 tahun, maka resmilah
ibuku jadi guru di pelosok Sumatera Barat. Desanya bernama Sungai Dareh. Sesuai
namanya didesa itu ada sungai lebar yang menjadi urat nadi nya desa tersebut. Untuk
keluar desa menuju kecamatan harus menggunakan perahu atau rakit. Saat itu
masih hutan belantara, hingga harimaupun masih leluasa berkeliaran bahkan masuk
desa. Ibu ku yang masih remaja ting-ting dan anak piatu, diterima kepala desa
dengan suka cita. Bersama ibu ada 3 gadis lain yang juga baru diangkat jadi
guru. Mereka ditempatkan disebuah rumah panggung. Seperti tradisi
dikampung-kampung, berlaku jam malam untuk para gadis. Mungkin karena disana
masih ada hewan buas. Dari segi supranaturalnya para gadis ini harus
“diupacarakan” dulu sebelum memulai hari-harinya didesa tersebut. Ternyata ibu
ku menurut pengllihatan seorang dukun, harus di “limau”i dulu karena
ditengkuknya terdapat pusar-pusar (uyeng-uyeng). Konon bagi orang yang memiliki
pusaran itu akan didatangai “inyiak” alias harimau. Tentu saja ibu ku takut
alang kepalang. Bayangkan, sendirian dikampung yang serba hutan akan didatangi
“tamu” yang tak diminati. Upacara disiapkan beberapa hari kemudian, tapi ibu ku
harus datang sendiri ke rumah datuk ‘haru-haru’ untuk diobati. Kata orang-orang
yang pernah berobat, tengkuk orang yang diobati itu akan digigit sang datuk…
Mendengar berita itu pak kepala desa langsung berang. “siapa saja yang
menakut-nakuti ibu guru ini, hadapi saya dulu” Kira-kira begitulah ucapan
kepala desa seperti yang diceritakan ibu ku. Kesimpulannya, guru-guru muda yang
baru ditempatkan untuk memajukan desa tersebut berada dibawah pengawasan kepala
desa. Bagi yang berusaha menganggu berarti menghambat kemajuan desa tersebut.
Siswa nya mulai dari anak kecil
hingga remaja. Ibu ku mendapat tugas mengajar untuk anak yang lebih besar.
Beberapa tahun mengajar di desa tersbut, akhirnya dipindahkan ke kota kecil
Sawah Lunto. Disana ibu bertemu ayah ku. Kakak lelaki ku lahir disana. Karena
gaji guru itu kecil ayah ku harus menambah penghasilan sambil kuliah lagi di
IKIP Padang. Praktis ibu su sendirian bekerja sambil mengasuh bayi. Hingga
malapetaka itu tiba. Kakak ku yang sering dititip-titip ke orang lain, kena demam
tinggi selama berjam-jam. Akibatnya saraf motoriknya terganggu. Hal ini menjadi
penyesalan seumur hidup orang tua kami.
Karir menjadi guru telah merasuk
hingga ke tulang sum-sum ibu ku. Tidak ada yang diceritakan beliau selain kisah
mendidik, mengajar, murid-murid dan media pengajarannya. Ada cerita muridnya
yang sulit membaca dengan umur yang sebaya dengan ibu ku. Ada juga muridnya
yang pintar, yang jago menari, teman-temannya yang tersandung masalah
organisasi terlarang. Guru harus banyak membaca buku, hingga bisa bercerita
tentang apa saja . Beliau jagonya ‘ngocol’. Kami sering terpingkal-pingkal
dengan lelucon ibu. Atau ketakutan ketika diceritakan dongeng cindaku atau
tercengang-cengang dengan cerita inspiratif kisah beliau memperjuangkan
pendidikan bagi dirinya sendiri.
Sejak aku dapat mengingat, aku
telah berada ditengah-tengah sekolah. Kadang ikut ibu ke sekolahnya kadang ikut
ayah ku ke sekolahnya. Sekolah adalah rumah ke dua ku. Beberapa tahun kemudian
ibu ku diangkat jadi kepala sekolah, setelah mengikuti Sekolah Pendidikan Guru.
Kami tinggal dirumah dinas SD Inpres tempat ibu ku mengabdi. 24 jam kami
terlibat dengan kegiatan beliau.Kadang aku berpikir jangan-jangan ibu ku juga
merangkap sebagai penjaga sekolah. Setiap Senin pagi aku ikut menggotong-gotong
peralatan drum Band untuk upacara di sekolah tersebut sebelum aku berangkat
ke sekolahku. Aku juga terlibat melukisi dinding perpustakaan
SD, menyumbangkan buku-buku Lima Sekawan dan Sapta Siaga kesayangan ku.
Merapikan rak perpustakaan sore hari. Sekeluarga menjadi bagian aktifitas
sekolah.Nama SD Inpres tersebut berubah sebutan menjadi SD “nama” ibu ku. Aku bertekad kelak tidak mau menjadi guru,
karena untuk menjadi guru harus mendedikasikan
diri sepenuh jiwa raga (mungkin zaman itu,….)
Aku memang tidak menjadi guru.
tetapi diam-diam dalam hati ku tersimpan keinginan untuk “menjadi guru” dalam
arti yang lebih luas. Aku selalu menjadikan ibu sebagai barometer, misalnya
menjadi A ketika umur sekian, mejabat B ketika umur sekian,…..terucap, aku
tidak ingin menyamai ibu ku tapi anehnya tetap saja mengikuti jejak beliau….entahlah…
kata apa yang lebih cocok untuk hal itu. Yang jelas kami bangga dan bersyukur
mama / oma masih menemani hari-hari kami dengan beribu cerita yang tidak pernah
habis………………..Selamat Hari Ibu….